BEM Nusantara Banten saat Temu Pikir Rakyat di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Selatan.
Mereka menuntut pengawalan ketat terhadap penetapan WPR dan IPR agar benar-benar pro rakyat, bukan berpihak pada kepentingan korporasi besar.
Narasi:
PUBLISISTIKNEWS.id – Lebak Selatan, Banten — Gelombang kritik tajam datang dari BEM Nusantara Banten terkait kebijakan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang dinilai belum berpihak kepada rakyat kecil dan masyarakat adat. Dalam kegiatan Temu Pikir Rakyat yang digelar pada 14 Oktober 2025 di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Selatan, sejumlah elemen hadir, termasuk perwakilan masyarakat adat, Dinas ESDM, TNI, dan Kepolisian.
Koordinator Daerah BEM Nusantara Banten, M. Qolby Yusuf, menegaskan bahwa mekanisme penetapan WPR saat ini membuka ruang penyalahgunaan oleh korporasi besar.
“Ada celah kepentingan korporasi yang mengancam hak rakyat. Padahal Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sudah jelas, kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir elit,” tegasnya.
Menurut Qolby, implementasi Pasal 22 UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) seharusnya mempertimbangkan aspek teknis, ekologis, sosial, dan budaya. Namun realitanya, partisipasi masyarakat lokal dan hak masyarakat adat sering diabaikan — bertentangan dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
BEM Nusantara Banten mencatat empat persoalan utama dalam implementasi WPR dan IPR di wilayah Lebak Selatan:
1. Akses administratif dan modal bagi penambang rakyat masih sulit, sementara pihak bermodal besar leluasa menguasai izin.
2. Penyusutan area WPR tanpa kajian komprehensif mengancam ekonomi lokal dan kelestarian alam.
3. Konflik tata ruang dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak belum diselesaikan dengan menghormati hak ulayat.
4. Dominasi korporasi dalam penguasaan tambang meminggirkan masyarakat adat.
Sekretaris Daerah BEM Nusantara Provinsi Banten, M. Nuril Huda, menambahkan empat poin argumentasi kritis:
“Penetapan WPR harus partisipatif dan berpihak pada masyarakat lokal, bukan hanya formalitas sosialisasi,” tegasnya.
“Pasal 22 UU Minerba harus diterapkan ketat, menghormati hak ulayat dan tidak merusak kawasan konservasi. Negara wajib melindungi penambang rakyat dari intimidasi dan kriminalisasi. Selain itu, transparansi penetapan izin harus dijamin untuk mencegah korupsi.”
BEM Nusantara Banten juga menyampaikan tuntutan keras kepada Kementerian ESDM, antara lain:
1. Moratorium penetapan WPR tanpa partisipasi substantif masyarakat lokal dan adat.
2. Revisi mekanisme WPR dan IPR agar berpihak pada rakyat, lingkungan, dan transparansi publik.
3. Larangan penyusutan WPR tanpa kajian dampak ekonomi dan ekosistem.
4. Prioritaskan IPR untuk masyarakat lokal, bukan korporasi berkedok rakyat.
5. Penegakan hukum tegas terhadap penyalahgunaan izin.
6. Pendampingan teknis dan akses modal bagi penambang kecil.
Menurut BEM Nusantara Banten, perjuangan ini bukan hanya soal tambang, tapi soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya sendiri.
BEM Nusantara Banten Desak Pemerintah Kawal Ketat Penetapan WPR dan IPR: “Hentikan Dominasi Korporasi, Rakyat Harus Jadi Tuan di Negeri Sendiri!”
